KETIKA SOEKARNO SEKARAT
Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970.
Ruangan
intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu
berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik
strategis rumah sakit tersebut.
Tak
kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di
koridor rumah sakit hingga pelataran parkir. Sedari pagi, suasana
mencekam sudah terasa.
Kabar
yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke
rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak
lima kilometer.Malam ini desas-desus itu terbukti.
Di
dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan
presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari
ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah
sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti
kekuatan tubuhnya.
Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa—dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya.
Kini
wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun
telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong
bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan
massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup
rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit.
Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara,
kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.
Dua
hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan
tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek
lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan
airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang
paling dicintainya ini.
“Pak, Pak, ini Ega…”
Senyap.
Ayahnya
tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir
Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah
ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak
mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya.
Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri
sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis.
Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Jelang Wafat
Melihat
kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari
tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu
menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan,
Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.
Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.
Malam
harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup
dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta
diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani
sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati.
Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil
membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata
lemah.
“Hatta.., kau di sini..?”
Yang
disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau
kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga
memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno
dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta
menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya
memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin
memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir
Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya
dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika
mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.
“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.
Lelaki
perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang
kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya.
Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua
teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah
takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat
dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa
kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang
hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…”
Hanya
itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan
lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya.
Bahunya terguncang-guncang.
Jauh
di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai
hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya
dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak
merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.
Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.
Sehari
setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk,
terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua
matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh
membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya
yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno
belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu
pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter
kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua
orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya
ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu
waktunya tidak akan lama lagi.
Dengan
sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno.
Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan
kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang
demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang
panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas
terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka.
Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.
Situasi
di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir.
Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian
detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.
Dunia
melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak
orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua
sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum
tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah
tiada.
Dokter
Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter
kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi:
Soekarno telah meninggal
Refrensi :
http://nyamuklagi.multiply.com/journal/item/51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar