Kamis, 14 Februari 2013

detik-detik wafatnya "BUNG KARNO"


Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.


Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.
Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.
Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.
“Pak, Pak, ini Ega…”
Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.
Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

“Hatta.., kau di sini..?”

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.

“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.
Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

“No…”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.
Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.
Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.
Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.
Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.

Berita kematian Bung Karno dengan cara yang amat menyedihkan menyebar ke seantero Pertiwi.
Banyak orang percaya bahwa Bung Karno sesungguhnya dibunuh secara perlahan oleh rezim penguasa yang baru ini. Bangsa ini benar-benar berkabung. Putera Sang Fajar telah pergi dengan status tahanan rumah. Padahal dia merupakan salah satu proklamator kemerdekaan bangsa ini dan menghabiskan 25 tahun usia hidupnya mendekam dalam penjara penjajah kolonial Belanda demi kemerdekaan negerinya.
Anwari Doel Arnowo, seorang saksi sejarah yang hadir dari dekat saat prosesi pemakaman Bung Karno di Blitar dalam salah satu milis menulis tentang kesaksiannya. Berikut adalah kesaksian dari Cak Doel Arnowo yang telah kami edit karena cukup panjang:
Pagi-pagi, 21 Juni 1970, saya sudah berada di sebuah lubang yang disiapkan untuk kuburan manusia. Sederhana sekali dan sesederhana semua makam di sekelilingnya. Sudah ada sekitar seratusan manusia hidup berada di situ dan semua hanya berada di situ, tanpa mengetahui apa saja tugas mereka sebenarnya. Yang jelas, semuanya bermuka murung. Ada yang matanya penuh airmata, tetapi bersinar dengan garang. Kelihatan roman muka yang marah. Ya, saya pun marah. Hanya saja saya bisa menahan diri agar tidak terlalu kentara terlihat oleh umum.

Kita semua di kota Malang mendengar tentang almarhum yang diberitakan telah meninggal dunia sejak pagi hari dan sudah menyiapkan diri untuk menunggu keputusan pemakamannya di mana. Sesuai amanat almarhum, seperti sudah menjadi pengetahuan masyarakat umum, Bung Karno meminta agar dimakamkan di sebuah tempat di pinggir kali di bawah sebuah pohon yang rindang di Jawa Barat (asumsi semua orang adalah di rumah Bung Karno di Batu Tulis di Bogor).
Tetapi lain wasiat dan amanah, lain pula rezim Soeharto yang secara sepihak memutuskan jasad Bung Karno dimakamkan di Blitar dengan dalih bahwa Blitar adalah kota kelahirannya. Ini benar-benar ceroboh. Bung Karno lahir di Surabaya di daerah Paras Besar, bukan di Blitar! Bung Karno terlahir dengan nama Koesno, dan ikut orang tuanya yang jabatan ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru yang mengajar di sebuah Sekolah di Mojokerto dan kemudian dipindah ke Blitar. Di sinilah ayah Bung Karno, meninggal dunia dan dimakamkan juga di sisinya, isterinya (yang orang Bali ) bernama Ida Ayu Nyoman Rai.Setelah matahari tinggal sepenggalan sebelum terbenam, rombongan jenazah Bung Karno akhirnya sampai di tempat tujuan. Yang hadir didorong-dorong oleh barisan tentara angkatan darat yang berbaris dengan memaksa kumpulan manusia agar upacara dapat dilaksanakan dengan layak.

Hoegeng Iman Santosa
 Tampak Komandan Upacara jenderal Panggabean memulai upacara dan kebetulan saya berdiri berdesak-desakan di samping Bapak Kapolri Hoegeng Iman Santosa, yang sedang sibuk berbicara dengan suara ditahan agar rendah frekuensinya tidak mengganggu suara aba-aba yang sudah diteriak-teriakkan. Saya berbisik kepada beliau, ujung paling belakang rombongan ini berada di mana? Beliau menjawab singkat di kota Wlingi. Hah?! Sebelas kilometer panjangnya iring-iringan rombongan ini sejak dari lapangan terbang Abdulrachman Saleh di Singosari, Utara kota Malang.
Pak Hoegeng yang sederhana itu kelihatan murung dan sigap melakukan tugasnya. Dia berbisik kepada saya: “There goes a very great man!!” Saya terharu mendengarnya. Apalagi ambulans (mobil jenazah) yang mengangkut Bung Karno terlalu amat sederhana bagi seorang besar seperti beliau. Saya lihat amat banyak manusia mengalir seperti aliran sungai dari pecahan rombongan pengiring. Sempat saya tanyakan, ada yang mengaku dari Madiun, dari Banyuwangi bahkan dari Bali.

Saya menuju ke arah berlawanan dengan tujuan ke rumah Bung Karno, di mana kakak kandung beliau, Ibu Wardojo tinggal. Hari sudah gelap dan perut terasa lapar karena kita tidak berhasil mendapatkan makanan atau minuman, sebab kalau pun ada warung atau penjual makanan, pasti sudah kehabisan minuman atau makanan apa pun yang bisa ditelan. Saya ingat bahwa orang Muhammadiyah tidak memberi hidangan, minum sekalipun, kepada kaum pelayat. Bung Karno adalah orang Muhammadiyah. Kota Blitar tidak siap menampung orang sekian banyak. Setelah dilakukan pemakaman jenazah Bung Karno, beberapa waktu di kemudian hari semua makam Pahlawan di Taman Pahlawan Sentul ini dipindahkan ke Mendukgerit, yang telah saya kenal sebelumnya sebagai Bendogerit.
Pemindahan ini dilaksanakan dengan alasan di lokasi pemakaman sudah penuh, tetapi pada kenyataannya kemudian ada proyek pembangunan makam Bung Karno yang memakan area cukup lebar.

Kuburannya Pun Tidak Boleh Dijenguk

Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum dan dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta izin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?...
Saya bersama ibu saya dan beberapa saudara datang secara mendadak pergi ke Blitar dengan tujuan utama ziarah ke Makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan dan akhirnya sampai ke pimpinannya yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin dan sudah ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara. Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu ramah, mereka melayani dengan muka seperti dilipat. Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu merasa bertambah rasa gagahnya terhadap rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua beres dan kami mendapat sepucuk surat. Apa yang terjadi?
Sesampainya di makam kami turun dari kendaraan kami dan saya bawa surat izin dari KODIM. Surat itu kami tunjukan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya terdorong untukmenoleh ke belakang. Terkejut saya. Selain rombongan sendiri, Ibu saya dan saudara-saudara, telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol. Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, melekat secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, akan tetapi saya ingat kami memasuki pagar luar dan kami bisa mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang dan hanya memandang makamnya dari jarak, yang mungkin hanya sekitar tiga meter.
Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali dan waktu kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah ada yang menciumnya, membuat saya merasa risih. Salah seorang dari mereka ini mengatakan bahwa dia sudah dua hari bermalam di sekitar situ di udara terbuka menunggu sebuah kesempatan seperti yang telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata, saya merasakan getar hati rakyat, rakyat Marhaen kata Bung Karno! Mereka menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi seorang Pemimpin mereka dan seorang Bapak mereka. Apapun yang disebarluaskan dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara.

Dibunuh Perlahan
Keyakinan orang banyak bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan mungkin bisa dilihat dari cara pengobatan proklamator RI ini yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden Soeharto. Bung Karno ketika sakit ditahan di Wisma Yasso (Yasso adalah nama saudara laki-laki Dewi Soekarno) di Jl. Gatot Subroto. Penahanan ini membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas mengunjunginya. Banyak resep tim dokternya, yang dipimpin dr. Mahar Mardjono, yang tidak dapat ditukar dengan obat. Ada tumpukan resep di sebuah sudut di tempat penahanan Bung Karno. Resep-resep untuk mengambil obat di situ tidak pernah ditukarkan dengan obat. Bung Karno memang dibiarkan sakit dan mungkin dengan begitu diharapkan oleh penguasa baru tersebut agar bisa mempercepat kematiannya.

Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun dilarang oleh Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekadar menebus obat dan mengobati gigi yang sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita.
(sumber dari sini) http://coratcoretqu.blogspot.com/2010/11/detik-detik-menjelang-kematian-soekarno.html

KETIKA SOEKARNO SEKARAT




                                                          
Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970.
Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut.
Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir. Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa.
Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.Malam ini desas-desus itu terbukti.
Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa—dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya.
Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.
 
Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.
Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.
“Pak, Pak, ini Ega…”
Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Jelang Wafat
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.
Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.
“Hatta.., kau di sini..?”
Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.
“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.
Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.
“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?
Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.
Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.
Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.
Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.
“No…”
Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.
Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.
Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.
Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.
Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi.
Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.
Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.
Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.
Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal
Refrensi : 
http://nyamuklagi.multiply.com/journal/item/51

Senin, 04 Februari 2013

Sejarah Kesultanan Kraton Yogyakarta

Sejarah Kesultanan Kraton Yogyakarta - Kesultanan Yogyakarta bernama asli Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara dependen yang berbentuk kerajaan.Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh negara induk Kerajaan Belanda bersama-sama negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta. Berikut sejarah singkat kesultanan yogya

Perjanjian antara kesultanan Yogyakarta dengan Belanda dimulai pada saat ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) antara Pangeran Mangkubumi dan VOC di bawah Gubernur-Jendral Jacob Mossel, maka Kerajaan Mataram dibagi dua.

Peta Kekuasaan Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Surakarta

Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dan berkuasa atas setengah daerah Kerajaan Mataram. Sementara itu Sunan Paku Buwono III tetap berkuasa atas setengah daerah lainnya dengan nama baru Kasunanan Surakarta.

Lambang Kerajaan Kesultanan Yogyakarta
Sultan Hamengkubuwana I kemudian segera membuat ibukota kerajaan beserta istananya yang baru dengan membuka daerah baru (jawa: babat alas) di Hutan Paberingan yang terletak antara aliran Sungai Winongo dan Sungai Code. Ibukota berikut istananya tersebut tersebut dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat yang sekrang lebih dikenal Yogyakarta dan landscape utama berhasil diselesaikan pada tanggal 7 Oktober 1756.

Keraton Kesultanan Yogyakarta
 Kontrak politik terakhir antara negara induk dengan kesultanan adalah Perjanjian Politik 1940 Wikisource-logo.svg (Staatsblad 1941, No. 47). Sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh Republik Indonesia sebagai negara induk.

Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII mengirim kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu, mewujudkan sebuah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bersifat kerajaan. Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII kemudian menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Pada tahun 1950 status negara dependen Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (bersama-sama dengan Kadipaten Pakualaman) diturunkan menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berdara pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1950.
sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Ngayogyakarta_Hadiningrat

Guyon ala Cak Nun

Jakarta, Rakyat Merdeka. Acara Sarasehan Kebangkitan Nasional (SKN) yang saat ini masih digelar di Gedung Joeang ’45, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, juga jadi ajang ger-geran.

Tak hanya berdiskusi yang banyak mengkritik kebijakan pemerintah, tapi juga banyak sindiran dan guyonan plesetan. 
Siapa lagi kalau bukan si ‘Kiai Kanjeng’, Emha Ainun Nadjib. Duduk berdampingan dengan Amien Rais, Kwik Kian Gie serta Rosihan Anwar, Emha pas dapat giliran ngomong langsung saja menyambar mikrofon.

“Saya tanya ke Pak Amien dan Pak Kwik. Mana yang besar salahnya, Dekrit Presiden yang dikeluarkan Gus Dur dibanding menyerahkan Blok Cepu ke tangan Amerika?” ucapnya dengan nada serius.

Ditanya begitu, Amien pun menyahut. “Nanti, jawabannya setelah final Piala Dunia saja,” katanya langsung meledak gerr. Semua yang hadir di atas panggung tenda biru juga meringis geli. Sedangkan Kwik Kian Gie hanya mengangguk kepala. Emha pun mengartikan anggukan politisi senior PDIP itu tanda setuju kalau pemerintahan saat ini harus dihentikan.

Dalam obroloannya dengan peserta sarasehan itu, pimpinan kelompok Kiai Kanjeng juga mengaku sedih melihat burung Garuda sebagai lambang negara kita. Ia menyebut, Pancasila sebagai dasar negara adalah simbol nurani bangsa. Nah, kalau sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu dilambangkan dengan ‘bintang’, ia pun memprotesnya.

“Mana boleh Tuhan Yang Maha Esa dilambangkan sama ‘bintang’. Akibatnya, semua jadi serba identik dengan ‘bintang’. Ada ‘bir bintang’, ada ‘hotel berbintang’. Akhirnya banyak policy yang gila dan teler. Itulah sifat pemerintahan kita. Kalau bahasa arabnya kita sebut ‘majnun’,” beber suami artis Novia Kolopaking ini sambil tersenyum.

Sedangkan gambar ‘pohon beringin’ pada sila ketiga Pancasila, juga dianggap sebagai kesalahan. Kata Emha, lambang pohon beringin itu isinya iblis semua. “Kita tidak bisa menyatukan semua orang di bawah pohon beringin yang banyak setannya. Edan kabeh,” ujarnya menyentil sebuah partai politik yang menggunakan lambang beringin itu.

Sementara, lambang ‘kepala banteng’ untuk sila keempat Pancasila, dikritik Emha simbol kebodohan. Karena, versi dia, banteng itu adalah binatang paling bodoh setelah ayam. Lho?

Sambil berdialog dengan peserta sarasehan, Emhan mengatakan kalau di Indonesia ini banyak matador-matador yang siap menipu banteng dan bangsa ini. Istilahnya, banteng tertipu oleh matador.

“Saya memang kritis terhadap Ibu Megawati (bekas Presiden dan Ketua Umum PDIP), tapi saya nggak pernah mau menunjukkan. Saya tanya sampeyan, bagaimana kalau pantat Anda besar, kan tidak perlu ditunjuk-tunjukkan lagi karena sudah kelihatan,” sindirnya.

Karena itu, sambung Emha lagi, kalau matador-matador ganas seperti itu tidak kita lawan bersama-sama, lupakan saja Amien Rais, lupakan saja Kwik Kian Gie dan bubarkan saja Indonesia.

Diakhir celotehannya itu, ‘Kiai Mbeling’ ini hanya berujar singkat. “Alhamdulillah kalau ada yang merasa tersindir,” ucapnya langsung disambut ketawa hadirin.